infoBaswara.com, Jakarta – Ketegangan di Laut China Selatan yang melibatkan sejumlah negara di kawasan Asia – belum ada tanda-tanda akan berakhir damai – bisa jadi Amerika Serikat (AS) kelak akan terlibat di dalamnya, Nafsu besar Korea Utara yang terus mempersenjatai dirinya dengan Rudal Antar-Benua – berdasarkan klaim pemimpinnya, rudal tersebut mampu mencapai Amerika Serikat, Konflik di Suriah yang berkepanjangan – yang turut melibatkan Iran dan Rusia di dalamnya, sepak terjang Israel yang tidak menunjukkan tanda akan berdamai abadi dengan Palestina dan sekitarnya, dan terpilihnya sang pemimpin kontroversial, Donald Trump, sebagai Presiden AS – yang selama ini menunjukkan sikap tidak bersahabat dengan China, ISIS dan negara yang menurutnya sebagai pengekspor teroris (entah negara apa yang dimaksud) – dan dikenal sebagai pendukung Israel – semua alasan tersebut sangat berpotensi besar di masa depan, memicu Perang Dunia III (War World 3).
Inilah analisa redaksi iB, Calvyn Toar, perihal 11 Negara Yang Berpotensi Memicu Perang antar-negara, yang dalam tempo singkat, skala perang itu dapat meluas menjadi Perang Dunia III.
1. Korea Utara
Konflik berkepanjangan di Semenanjung Korea ibarat api dalam sekam. Dengan satu alasan tertentu, Korea Utara dapat dengan cepat melakukan serangan mematikan ke Korea Selatan. Mengingat besarnya jumlah persenjataan (nuklir) mematikan yang dimiliki Korea Utara, dalam waktu tidak lama, Korea Selatan dapat dibumihanguskan.
Terkait itu, pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, pernah sesumbar mengatakan akan dengan mudah menyerang AS dan membom ibukota Korea Selatan, Seoul dalam sekejap.

Sebagai sekutu AS di Asia, tentu saja, AS tidak akan tinggal diam. Maka, pecahlah perang Korea yang melibatkan AS.
Adanya sejarah masa lalu sebagai pengusung ideologi komunis, sangat bisa jadi mendorong Rusia dan China berada di sisi Korea Utara.
Andai PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tidak mampu meredakan perang dan meminimalkan eskalasi, sudah barang tentu, sekutu utama AS (Jerman, Inggris, dan Perancis) akan turut terlibat. Maka, Perang Dunia III pun dimulai!
2. Jepang
Sebagai dampak dari (andai) perang dua Korea meletus, maka Jepang menjadi negara dengan posisi yang tidak menguntungkan. Negara Matahari Terbit ini sangat mungkin terlibat perang lantaran eskalasi konflik dua Korea, dan ketegangan di Laut China Timur dan Selatan.
Memang, kekuatan militer Jepang tak terlihat menonjol seusai Perang Dunia II (1939 sampai 1945), karena dua alasan utama: tunduk pada Prinsip Pasifisme-nya (segala bentuk perang dan konsekuensinya adalah salah – jalan damai adalah lebih baik daripada perang), dan militernya hanya sebatas pertahanan negara.

Namun, menariknya sekarang, usai perdebatan panjang di parlemen, Perdana Menteri Shinzo Abe, akhirnya memberlakukan Undang-undang Keamanan Jepang yang baru, yang memungkinkan Pasukan Bela Diri (PBD) Jepang melakukan pertahanan diri individu dan kolektif. Kolektif artinya, Jepang dapat turut serta membantu negara-negara sahabatnya yang terlibat perang.
Nafsu besar China yang ingin menguasai Laut China Timur dan Selatan, dan angkuhnya Korea Utara, dapat mendorong Jepang untuk kembali unjuk gigi sebagai negara yang pernah menjadi militer terkuat di Asia Timur.
Selama ini Jepang tidak terlihat menpublish kekuatan militernya, tetapi siapa yang dapat meragukan pengalaman dan taktik tempur Jepang di masa lalu? Siapa dapat meragukan kecerdasan Jepang dalam hal teknologi – yang sangat mungkin teknologi itu dikonversi dalam alat utama sistem persenjataannya.
So, jangan anggap remeh PBD Jepang saat ini! Jepang cocok dengan frasa ini: Diam-diam menghanyutkan.
3. Philipina – Vietnam – Brunei – Malaysia – China
Konflik perebutan Kawasan Laut China Selatan sepertinya tidak akan selesai dalam waktu dekat, dan dalam jalan damai. Kenapa? Karena area seluas 3 juta kilometer persegi itu tak ada tanda-tanda mau dibagi China kepada Philipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam, dan Malaysia – merekalah 6 negara yang terlibat dalam perseteruan Laut China Selatan.
Tak hanya soal pulau-pulau di Laut China Selatan yang ingin dikuasai sepenuhnya oleh China, tetapi yang paling utama adalah potensi ekonomi di kawasan itu.

Menurut data AS, kawasan itu diyakini akan menjadi lalu lintas perdagangan internasional, dengan nilai yang sangat besar, yaitu 5 triliun dolar AS per tahun. Terkait itu, pada tahun 2035, diperkirakan 90 persen lalu lintas pengangkutan minyak bumi dari Timur Tengah menuju Asia akan melintasi laut tersebut. Dan, di laut ini tersimpan pula cadangan minyak bumi sebesar 11 miliar barel serta gas alam yang mencapai 190 triliun kaki kubik.
Kendati pada tahun 2013 Philipina telah memenangkan kasus klaim sepihak China atas kepulauan Spratly dan Scarborough (Pulau Huangyan) via Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda – China tidak bergeming. Justeru, China terus melakukan militerisasi laut. Di salah satu gugusan karang di Kepulauan Spratly, China membangun semacam pangkalan militer, yang dapat didarati pesawat dan tempat kapal laut tempur China bersandar.
Pihak Beijing tahu betul bahwa Kepulauan Spratly harusnya masih menjadi status quo, karena setidaknya masih diklaim Vietnam dan Philipina. Tapi secara sepihak, China terus membangun sarana militer dan sipil di kepulauan itu dengan dalil kawasan itu merupakan wilayahnya yang sah sesuai garis demarkasi nine-dash line yang ditetapkan Chiang Kai Sek pada tahun 1947 – dan menurut China, pembangunan infrastruktur itu akan menguntungkan semua negara sekitar.
Itu artinya, ke-5 negara yang bersengketa di Laut China Selatan sewaktu-waktu dapat berperang, jika pemerintah Beijing bersikukuh mengklaim Laut China Selatan sebagai miliknya.
Taiwan, tidak dimasukkan sebagai pemicu perang di kawasan ini, karena negara yang dicap China sebagai provinsinya yang memberontak itu tidak akan cukup berani dan kuat untuk melawan kekuatan China, jika tanpa dukungan AS.
5. Amerika Serikat
Amerika Serikat (AS) menjadi negara yang paling gerah melihat sepak terjang China di Laut China Selatan. Itu sebabnya, Menteri Luar Negeri AS masa pemerintahan Obama, John Forbes Kerry dan Menteri Pertahanan, Ash Carter bersurat ke Beijing untuk meminta China menghentikan segala bentuk pembangunan infrastruktur di kawasan laut itu, utamanya di pembangunan pangkalan militer di Kepulauan Spratly. Jika China tidak mengindahkannya, AS mengancam akan terjadi masalah serius di sana.
Namun, teguran dan permintaan keras AS tak digubris China. Pembangunan sarana militer dan sipil terus dikebut China, dan konon terus meluas di bagian lain kawasan laut yang menggiurkan potensi ekonominya itu.

Dengan Donald Trump sebagai Presiden AS saat ini, ketegangan di kawasan ini bisa memicu perang. Dengan kata lain, tinggal negara mana di kawasan itu yang memulai, AS hampir pasti melibatkan diri. Atau, bisa pula AS yang lebih dulu memancing perang dengan China atas alasan menegakkan keadilan di Laut China Selatan.
Tak hanya kehadiran AS di Laut China Selatan dapat memicu Perang Dunia III. Rencana Trump memindahkan kedubesnya di Yerusalem pun dapat mencetus perang terbuka. Bagaimanapun, bagi Palestina, Yerusalem dianggap sebagai salah satu kota sucinya. Jika berdiri kedubes AS di sana, itu bukan sekadar penghinaan bagi Palestina, tetapi juga menginjak martabat dunia Islam.
5. Suriah – Iran – Rusia
Atas alasan membasmi pemberontak anti pemerintah, rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad, terus membumihanguskan negerinya sendiri. Terakhir yang terjadi, kota Aleppo, dibombardir Suriah dan sekutunya, Iran serta Rusia, karena menjadi basis pertahanan pemberontak anti-Assad.
Melalui Menteri Luar Negeri AS di jaman Obama, John Forbes Kerry, telah memprotes keras serangan Suriah dan sekutunya, karena dianggap telah ikut membantai jutaan penduduk Aleppo.

Namun, protes keras Washington, tak didengar Suriah Cs. Dengan Donald Trump sebagai Presiden AS, eskalasi di Suriah yang tidak mereda, bisa jadi melibatkan AS turun gelanggang pertempuran. Berdasarkan gaya klasik AS, yakni: Bertindak sebagai polisi dunia, atas nama kemanusiaan, dan demi membela para pemberontak yang dianggapnya sebagai pejuang kebebasan (demokrasi) Suriah atas rezim Assad.
Dalam konteks anti-AS, sangat bisa jadi, sejumlah negara yang selama ini selalu menunjukkan ketidaksukaannya atas semua kebijakan AS di luar negeri yang dianggap terlalu mengintervensi urusan negara lain, hegemoni dan berat sebelah dalam bersikap (selalu membela Israel) – negara-negara itu dapat bersatu melawan AS ketika Perang Dunia III pecah. Negara-negara yang dapat menjadi lawan AS dan sekutunya itu adalah: Bolivia, Venezuela, Libanon, Pakistan, Iran, Suriah, Kuba, China, Rusia, dan Korea Utara.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia, yang wilayah lautnya pun ikut diakui paksa oleh China seluas 30 persen, yaitu perairan Natuna – apakah Indonesia akan terlibat perang terbuka nantinya ketika China nekat mencaplok Natuna yang kaya minyak dan migas? Dan daftar 11 Negara Yang Berpotensi Memicu Perang Dunia III ini akan menjadi 12?
Hmm… Membaca sikap politik luar negeri Indonesia yang selalu mengedepankan diplomasi damai, tampaknya jalur itu yang akan diperankan. Indonesia tidak akan pernah memicu perang! Tetapi, jika wilayah kedaulatannya direbut paksa, Indonesia bisa jadi terpaksa merebutnya kembali. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati!
Sebagaimana Jepang, Indonesia memang kalah jumlah persenjataannya dibanding China, tetapi tradisi (pengalaman) perang NKRI telah teruji ratusan tahun, dan merasuk dalam darah para prajurit TNI. Demi NKRI, Indonesia tak takut negara manapun. China, jangan coba-coba! [CT]
featured img: bakerbrothertv.com
Lihat juga:
6 Alasan Pecahnya Perang Dunia 3