Kehadiran puluhan gadis cantik berbalut kaos putih dengan disain bulat merah bertuliskan GADIS AHOK, sontak membuat pemandangan berbeda di pasar yang biasanya melulu berseliweran para pembeli dan pedagang, lengkap dengan aneka barang dagangannya.
Dari sekian anggota Gadis Ahok, seorang wanita yang kemudian diketahui bernama Ela Nofita Sari, tampil paling beda. Beda, karena selain memakai kemeja panjang kotak-kotak khas pendukung Ahok-Djarot, ia satu-satunya di antara anggota relawan itu yang mengenakan jilbab.
Entah karena Ela yang memulai akrab menyapa salah seorang pedagang, atau karena si pedagang yang berinisiatif lebih dulu, komunikasi keduanya pun terjadi.
Sayangnya, itu bukan komunikasi biasa. Si pedagang anonim itu bertanya atau lebih tepatnya menginterogasi Ela. Mendadak si pedagang menjadi reporter pencari berita. For what?
Isi interogasi si pedagang pasar pun bukan bermateri ringan. Tak tanggung-tanggung pertanyaannya, yaitu tentang Rukun Islam dan Rukun Iman. Bahkan, ia meminta Ela bersyahadat. Waduh…!
Lihat Video Interogasi Pedagang Pasar Terhadap Gadis Ahok
Rupanya, ada semacam keraguan atau tepatnya curiga, apakah si Ela itu benar-benar Muslim taat. Karena tentu, seorang Muslim pasti dapat mengucapkan dua kalimat syahadat.
Agar tidak salah soal syahadat, sebagaimana permintaan si pedagang kepada Ela, saya kutip sedikit pembahasan soal syahadat, seperti dilansir eramuslim.com.
“Syahadat artinya adalah persaksian. Di masa lalu, ketika belum ada satu pun orang yang memeluk agama Islam, setiap kali ada yang masuk Islam, nabi SAW meminta mereka melakukan persaksian ini, yaitu melafadzkan dua kalimat syahadat. Sebagai tanda bahwa mulai saat itu dia sudah pindah agama dan menjadi pemeluk Islam. Pengucapan ini dilakukan untuk menegaskan bahwa seseorang sudah pindah agama, dari agama selain Islam menjadi beragama Islam.
Sebuah cara pandang yang keliru dan sesat adalah bila mensyaratkan bersyahadat di depan imam tertentu, atau pimpinan tertentu dari suatu jamaah. Pemikiran ini tidak datang dari ajaran Islam yang benar, tetapi merupakan hasil rekayasa palsu kelompok tertentu. Mereka menyamakan antara syahadat dengan bai’at. Seolah orang yang tidak berbai’at dengan kelompok mereka, masih belum muslim. Syahadatnya dianggap belum sah, kecuali setelah bersyahadat sekaligus berbai’at dengan kelompok mereka.
Ide harus adanya syahadat ulang buat semua umat Islam, biasanya datang dari kelompok-kelompok yang punya kepentingan tertentu.
Syahadat ulang hanya diberlakukan kepada mereka yang murtad, yaitu ingkar kepada salah satu rukun iman dan rukun Islam, atau melakukan hal-hal yang kongkrit membatalkan syahadat. Itu pun ada perintah penguasa resmi, bukan orang perorang.”
Bagaimana menurut Anda?
Apa hak si pedagang pasar itu meminta Ela bersyahadat? Dan pantaskah sikapnya itu? Dalam video dengan materi serupa yang beredar di youtube, tampak Ela Nofita Sari dikerubuni beberapa anggota Gadis Ahok. Ia pun menjelaskan peristiwa yang baru dialaminya itu. Di depan teman-temannya, Ela menegaskan dirinya seorang yang beragama Islam.
Dalam kacamata saya, aksi si pedagang pasar yang menjadi reporter sekaligus kameramen amatiran dadakan itu sebenarnya menggambarkan banyak hal yang bisa diurai, termasuk soal pemahaman syariat. Namun, saya tidak hendak mengulas hal-hal yang saya kurang pahami.
Yang pasti, menurut saya, sikap ‘pedagang-reporter-kameramen’ amatiran itu mencerminkan betapa budaya “saling curiga” dan “ketidakpercayaan” masih tumbuh subur, dan terlanjur merasuk ke berbagai level masyarakat, dan sering dimunculkan dalam wujud yang alay sekaligus lebay.
Perbedaan keyakinan dan pandangan/pilihan politik tak seharusnya membuat kita menjadi terkotak-kotak, saling curiga apalagi saling berhadap-hadapan. Adalah takdir, kita hidup di tanah air Indonesia yang beragam suku bangsa, budaya dan agamanya.
Perbedaan dan keanekaragaman merupakan rahmat Sang Pencipta, yang membuat kita kaya sekaligus kuat.
Apa indahnya melihat orang bule di luar sana? Semuanya sama. Putih dan pirang (kebanyakan). Tapi lihatlah Indonesia. Berwarna dan beragam. Ada putih. Ada hitam. Ada sawo matang. Ada yang berpeci dan berhijab. Ada bermata sipit, ada pula yang belo. Ada yang rambut hitam, ada pula yang buceri (bule cet sendiri).
Sejatinya, orang Indonesia itu dewasa dalam menyikapi apapun, ramah terhadap siapapun, dan sejak dulu terbiasa menerima perbedaan apapun – semuanya menyatu dalam unity in diversity (bersatu dalam kepelbagaian).
Saya dibesarkan di sebuah kota yang ‘tak peduli’ dengan perbedaan. Kenapa begitu? Karena dari kecil kami tidak melihat adanya perbedaan! Setelah hidup di kota besar, Jakarta ini, puluhan tahun lalu, barulah saya tahu ada isu perbedaan.
Di kota kelahiran saya, hidup berdampingan dengan ‘orang yang katanya berbeda’ seperti dari suku/etnis lain, dan agama lain, itu biasa. Tak ada rasa beda dan risih. Tiada pikiran negatif dan curiga – hal semacam itu jauh dari pikiran, apalagi berwujud terang-terangan dalam tindakan. Tidak ada itu! Dan sampai sekarang pun begitu. Ndak percaya? Berkunjung dan rasakan sendiri di Bumi Nyiur Melambai – kota sejuta umat, sejuta perbedaan, yang menyatu dalam sejuta pesona nan harmoni – contoh kota yang kental toleransi antar umat beragama.
Itu sebabnya, ‘gaya’ si pedagang pasar tersebut, dan segala sikap serupa itu, tidak mendapat tempat di sana. Di sana, orang akan menganggap sikap anti-perbedaan seperti itu sungguh menggelikan, dan cumalah lelucon yang tak lucu. Karena, jangankan orang dewasa, anak-anak di sana saja tidak mempraktikkan gaya hidup (maaf, kampungan) semacam itu!
Saya merindu Indonesia seperti puluhan tahun lalu, yang minus bahkan tiada isu perbedaan yang menganga, yang memicu saling curiga seperti sekarang ini. Saya merindu Indonesia ke depan menjadi sama seperti kota kelahiranku, Manado. Semoga… [CT]
featured img: kwikku.com